Cerpen Santri


Sarungku bergelar Ph.D
  satu tas ransel berwarna merah berukuran besar berisi pakaian dan satu kardus ukuran sedang berisi keperluan lainnya . Masih termenung diatas tempat tidur bergambar klub sepak bola kesayangan ku, duduk terpaku melihat jam dinding menunjukan pukul 07:30 pagi. “Dre,udah siap belum”, seketika itu aku terkejut oleh suara ayahku “iya, yah bentar lagi”. Padahal semua sudah siap, tinggal ku bawa barang-barang ini keluar. Tapi entah mengapa terasa berat sekali kaki ini untuk meninggalkan semuanya. 
    “halo, julia”, sapaku padanya dari balik telepon genggamku. “hay, ada apa?, tumben pagi-pagi gini nelpon”. Diam sejenak, ku mulai berpikir untuk merangkai kata-kata yang mudah dimengeeti oleh nya,supaya ucapan perpisahan ini tidak bertele-tele. “dre,”, tegurnya. “oh, iya maaf tadi ngelamun”, ucap ku. “Julia, aku mau pamit nih”, gemetar bibir ku saat mengucapkannya. “hah,pamit? mau kemana? Jangan-jangan kamu”. “Iya, aku mau lanjutin sekolah di pesantren di Surabaya”, tututuutttt.
   15 juli 2015
    “Tanda tangan disini pak”, ucap seorang yang memakai peci putih, baju taqwa putih dan sarung warna hijau yang tampak masih baru. “Alahamdulillah, sekarang kamu udah resmi jadi santri dre”, ucap ayah ku sambil tersenyum ke arah ku. Aku hanya tersenyum datar, hanya untuk membalas senyumnya.
     Ayah lah yang menyarankanku untuk melanjutkan sekolah menengah atas di pesantren, ya walaupun dengan sedikit memaksa . Sedangkan ibu hanya mengikuti saja saran ayah. “Yaaa, putri gak bisa rebutan remote sama abang”, celetuk polos adik ku yang masih berumur 9 tahun. Ya memang hampir setiap malam aku selalu berebut remote tv dengannya . Ku lihat ibu mulai menahan genangan air mata yang hampir menetes ke pipinya .
    “Dre, nanti setiap awal bulan ayah transfer uang jajannya sama SPP nya”. “Iya,yah”, jawab ku singkat . Ku hampiri ibu yang sedang merapikan barang-barang ku, tapi ku tahu bahwa ibu hanya pura-pura sibuk merapikan barang-barangku. Sebetulnya itu semua ia lakukan hanya untuk mengelabui ku, supaya ku tak tahu bahwa ia sedang menahan tangis. “Ibu”, tegur ku. Belum sempat melanjutkan kata, tiba-tiba ibu langsung memelukku erat. Sambil terisak ibu mengatakan “patuhi saja apa kata ayah mu, belajar yang rajin dan jadi kebanggaan ayah dan ibu”. “Iiiiiya, bu”, hanya itu kata yang keluar dari mulut ku, karena ku tak kuasa menahan tangis. Aku biarkan ibu memelukku lama sekali, hingga ayah menegur nya. “sudah, bu andre kan bukan anak kecil lagi, jadi jangan lama-lama nangisnya”. “Dre,kamu belajar yang rajin siapa tau nanti kamu bisa sekolah di luar negeri”, pesan ayahku.
      Aku lihat ibu masih menangis di samping ayah, begitu pula putri, tapi ayah masih tetap dengan wajah yang terlihat tegar, ya karena ia adalah kepala keluarga, mana mungkin ia menangis di depan anak-anaknya. “ayao, saya antar ke kamar mu”, kata seorang santri senior yang mengantar ku untuk mencari kamar ku. “oh, ya nama kamu siapa”, tanyanya. “Andre”, singkatku.
    Nahwu,shorof dan i’lal mata pelajaran yang akan ku pelajari di hari pertama sekolah ku. “Mas,buku nahwu,sorof dan i’lal yang mana ya”, tanya ku pada seorang santri senior di kamar. Dengan tersenyum ia menjawab “yang warna hijau ini kitab nahwu, yang ini i’lal dan itu sorof yang ada gambar masjidnya”. “Bukan buku,tapi kitab”, imbuhnya.
    Berhenti sejenak di depan kamar sambil melihat sekeliling pesantren. “Ternyata lumayan besar juga”, ucap di dalam hati.Dengan 2 buah gedung bertingkat 3 dan 4 yang di batasi dengan lapangan yang cukup besar dan 3 pohon beringin di tengah-tengahnya.
    Auditorium, pesantren ini memiliki auditorium yang cukup besar dan masjid yang besar dengan 2 buah kubah di atasnya yang menarik adalah masjid inin tidak memiliki pintu apalagi jendela. Sedikit sulit jika hanya di bayangkan. Disamping auditorium terdapat gedung santri putri dan kediaman kiai.
    “Ayo, berangkat nanti telat”, suara kang Rosyid memecah lamunanku. Hari pertama sekolah hanya diisi perkenalan diri. Dihari pertama aku sudah memiliki beberapa teman, ada Imam yang asli Madura, Sahrul mubarok dari Surabaya, Abdu syakur dari Pemalang dan Muhril tosi dari Banda Neira, Ambon. Meraka semua adalah teman dekatku sekaligus teman makanku. Makan disini bukan memakai piring, tapi wadah yang berbentuk lingkaran yang terbuat dari seng yang biasa disebut talam. Satu talam untuk 4 orang santri. Disini makan 3 kali sehari dan disini mewajib untuk puasa sunnah senin dan kamis.
     “Ayo, tangi ojo’turu, wes wayane ngaji”, suara seorang ustad membuyarkan waktu tidurku sekaligus dengan sentuhan kasih sayang, berupa sebuah rotan mendarat tepat dipunggungku, “aduh”. Ya semua itu memang salahku yang tertidur dimasjid waktu mengaji al quran sehabis subuh. Tiba-tiba aku teringat saat dirumah. “pasti masih tidur nih kalo jam segini”, gumamku.
    “Assalamualaikum”. Terdengar suara perempuan dari balik telepon genggam yang ku pinjam dari seorang ustad. “Kaifa haluk ya ummi”, sedikit menunjuk kebolehan bahasa asingku. “maaf ini siapa?”,tanyanya. “Ini andre bu, apa kabar bu”,jawabku. “Andre kirain siapa, ibu baik dre. Wah kamu sekarang udah bisa bahasa arab ya”.
    “Alhamdulillah, bu just little”. “Aduh dre, pakai bahasa indonesia aja! Ibu gak ngerti”, pinta ibuku dengan nada memelas.Oh, ada apa dre, kok tumben nelpon sekarang biasanya awal bulan, kalo mau minta uang”. “Gak bu, Andre cuma mau minta doanya soalnya minggu besok Andre ujian akhir semester”. “Kalo itu  mah sebelum Andre minta udah ibu doain, every day, every time”, jawab ibuku dengan sedikit bahasa asing. Aku hanya tertawa kecil mendengarnya. “Kok, diketawain sih dre”. “Bercanda kok bu, oh ya jangan lupa doain andre ya . Ayah mana bu?’,tanyaku. Seketika hening seolah-olah ibu sudah menutup teleponnya.
    “Bu”, tegurku .
    “Ada apa bang andre?”, tanya putri adikku.
    “Loh putri, Ibu mana put?”.
    “Iiiiibu lagi ke warung bang”. Suara putri seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
    “Ohhh, ayah mana put”, tanyaku.
    “Ayah,belum pulang bang”.
    “Tumben biasanya jam segini udah pulang”.
    “Yaaa, mana putri tau”.
    “Yaudah, kalo gitu abang nitip salam buat ayah sama ibu ya put”.
    “yaa bang nanti putri salamin”.
    “Assalamualaikum”.
    “Waalaikumsalam”. Tuuttt.
      Aku lihat jam dinding kamar menunjukan pukul 23:10, yaitu waktu para santri istirahat. Tapi aku masih berada dipinggir masjid dengan setumpuk kitab. “Aduhhhh angel temen ngapalno iki”, keluh Sahrul yang dari tadi masih masih bergelut dengan kitab nahwunya. “Sabar Rul, diwoco sek seng akeh, engko hapal-hapal dewe”, sahutku dengan logat jawa dan grammer bahasa jawa yang amatir. ”Iki,wes ta’ woco peng sewu”. Korang benyak Rul, sepoloh ebuh deiyeh malle ngokos colo’eng”, sahut Imam temanku yang asal Madura. “Ujiannya besok lisan ya”, kata ustad Dzulfikar wali kelasku, saat memberi pengumuman dikelas. Yang dimaksud ujian lisan itu, semua pelajaran akan ditanya lanGsung oleh ustad penguji saat ujian berlangsung dan itu satu persatu. Bahkan jika waktu ujian sudah dekat akan ada fenomena dimana para santri akan membawa kitab kemana-mana, waktu makan didapur dan akan banyak para santri yang beri’tikaf dimasjid sampai waktu subuh. Tapi resikonya besok pagi banyak santri yang mendapatkan tanda garis miring kemerah-merahan dipunggungnya.
      “Mam gimana hasilnya?”, tanyaku saat ia keluar dari ruang ujian. Tanpa menjawab sepatah katapun, Imam mengacungkan dua jempolnya, pertanda ujiannya lancar. “Berkat perjuangan”, sahut Imam sambil menunjukan kaligrafi dipunggunnya.
     “Bu, rabu besok pengambilan rapot kenaikan, siapa yang ngambil nanti?”, tanyaku dari belik telepon wali kelasku.
     “Nanti ibu suruh Om taufik yang ngambilin”.
    “Oh, yaudah dulu ya bu, Cuma mau kasih tau itu, soalnya ustad Dzul lagi buru-buru, assalamualaikum ibu”.
    “yaudah, gak apa-apa. Waalaikumsalam”.
     Rabu pagi 2018
   “Om, minjem hpnya dong”, pintaku setelah pengambilan rapot.
  “Assalamualaikum, ibu”.
  “Waalaikumsalam, Andre ya ini?”.
  “Ya, ini andre. Bu, andre dapet peringkat 2 bu”, sahutku dengan penuh semangat. Karena selama ini aku jarang mendapatkan peringkat sewaktu SMP, naik kelas saja sudah bersyukur.
  “Alhamdulillah, terus semangat belajarnya biar bisa jadi yang nomer 1”.
  “Pastilah bu. Ayah mana bu? Udah lama nih gak ngomong sama Ayah, kangen nih bu”. Tiba-tiba saja Omku meminta hpnya. “Minjam bentar”.
    Angin sepoi-sepoi dipagi hari menyambutku dan juga pohon-pohon berwarna hijau yang menyegarkan mata. Tapi semua itu berubah seketika, udara sekitarku menjadi panas dan tiba-tiba mengalir deras air mataku, saat melihat batu nisan tepat dihadapanku yang tertulis nama orang yang selama ini aku rindukan.
    “Kenapa Ommmm, kenapa?”, dengan nada emosi bercampur sedih ku bertanya pada Om ku. “Jawab Om jawab bbb”, ku pukuli ia tapi hanya diam saja. Kulihat Omku juga menangis . “Maaf Dre, maafin Om”, sambil memeluk ku.
  “Assalamualikum”, belum sempat ibu menjawab, aku sudah bicara panjang lebar.
  “Kenapa bu, kenapa Andre gak dikasih tau? Andre anak ibu sama ayah kan”, ibu ku diam tidak menjawabnya.
   “Dengar Andre gak sih bu!!!?”, bentak ku pada ibu ku. Ini pertama kalinya ku bicara dengan keras padanya. “Selama ini Ayah ada disini, tapi kenapa Andre gak dikasih tau buuuuu?”. “Maafin ibu nak, tapi ini permintaan ayah mu sebelum meninggal. Katanya supaya kamu fokus sama sekolah kamu”, pecah tangis ibu ku. “Tapi Andre kangen ayah, buuu".
    Duduk termenung didepan kamar, melihat indahnya hamparan bintang di langit. “Ayah”, gumamku didalam hati. Sudah 5 hari yang lalu masa liburan santri berakhir, tapiku masih belum bisa melakukan aktifitas seperti biasanya dan teman-temanku tidak ada yang berani menegurku, karena mereka tau apa yang sedang menimpaku. Tanpa berpikir panjang aku pergi untuk berwudhu dan kembali ke kamar, mengambil batok kelapa kering setengah lingkaran untuk dijadikan bantal, itulah cara santri agar bisa bangun lebih cepat dan bersimpuh di hadapannya.
  03:15
     Dengan tangan menengadah ke langit, ku berdoa padanya. Ya robbi, terus menerus mengerjakan kesalahan yang sama memang tindakan bodoh. Namun apalah daya ku Ya Robb, ku hanyalah hamba kecil-Mu yang bodoh, jadi dengan sifat Rahman Rohim-Mu, maafkan kesalahan hamba-Mu ini dan semoga ayah hamba ditempatkan disisi-Mu yang paling baik. Amin.
  Biasanya lulusan pesantren itu paling jadi ustad terus ngajar ngaji deh”, kata temanku yang melanjutkan sekolahnya di universitas ternama di Bandung, sewaktu liburan kemarin. Tiba-tiba jiwa santri ku memberontak saat mendengar itu. “Kamu harus sekolah di luar negeri”, pesan ayahku saat pertama masuk pesantren.
  Mei 2019 
    Mumtas, predikat kelulusan ku, tak sia-sia perjuanganku selama ini, mulai dari sentuhan kasih sayang sampai tetesan air hujan di kitab-kitabku. “Bu Andre mau lanjutin ke UIN Jakarta”, pintaku pada ibu. “Seterah kamu, ibu mah selalu dukung apa yang kamu mau selama itu baik buat kamu”, kata ibu sambil mengelus kepala ku.
  Jakarta, 02 september 2019
   “Kuliah di luar negeri “, jawabku ditanya apa cita-citaku oleh seorang dosen dihari pertama kuliah. “Kenapa disana”, tanyanya kembali. “Permintaan ayah”, jawabku.
    Disini aku masuk fakultas Tarbiyah (keguruan), karena menjadi seorang guru adalah cita-citaku. “Udah nemu belum judulnya”, tanya Riski teman fakultas ku yang juga lulusan pesantren salaf di Jawa Timur. “Udah, malahan udah 3 kali aku setorin ke pak hafid , tapi semuanya ditolak”, jawabku dengan wajah tertunduk pasrah. “Sabar malah aku udah 6 kali dan semuanya ditolak”, kata Riski dengan ekspresi yang tak jauh beda denganku. Disaat pusing memikirkan judul skripsi, tiba-tiba aku teringat dirinya, senyum manisnya dan mata indah berwarna kecoklatan yang berkilau saat terkena sinar mentari. Seorang wanita sholeha yang ku kenal dari balik seket pembatas santriwan dan santriwati. Tanpa sadar aku mengeluar semua isi tas yang kubawa, hanya untuk melihat kembali surat balasan itu. “sukses dulu baru boleh kenal”, singkat sekali surat balasannya itu.
   28 mei  2024 
    Lulus sebagai wisudawan strata 1 terbaik, tapi sudah 2 bulan ini aku jadi pengangguran. Tapi semuanya berubah saat Prof.Khudori meneleponku. “Cepat ke kampus”, katanya. “Baik pak”, jawabku dengan rasa penasaran.
  “Selamat ya, kamu dapat beasiswa S-2 fullbright dari ke dubes Amerika Serikat, untuk melanjutkan kuliah di Columbia University”, ujar pak rektor. Tanpa berpikir panjang aku langsung bersujud sukur kepada –Nya. “Serius pak”, tanyaku masih belum percaya. “iya, apa mau dibatalkan aja”,ujarnya.
    Desember, 2024
    Bersama 5 mahasiswa lainnya aku sudah berada di depan salah satu Universitas tertua di Amerika ini. “Jurusan sejarah islam”, kata pak rektor sebelum berangkat kesini. Musim gugur tahun 2029 aku menyelesaikan studi S-3 ku setelah sebelumnya menyelesaikan gelar M.A. dan kini seorang santri pondok pesantren salaf ternyata juga bisa mendapat gelar Ph.D dari Universitas ternama dan juga salah satu yang tertua di Negeri Paman Sam ini. Tapi bukan hanya gelar Ph.D saja yang kubawa pulang dari Amerika tapi juga seorang gadis dan malaikat kecil berwajah lucu.

     

Komentar